Pada akhir pekan ini, dunia mata uang kripto digegerkan oleh berita retasan besar terhadap platform perdagangan Bybit. Serangan ini mengakibatkan kerugian dana dalam jumlah fantastis, mencapai sekitar US$1,5 miliar atau setara dengan Rp 24,46 triliun. Peristiwa ini memicu kekhawatiran di kalangan pengguna dan investor, namun CEO Bybit, Ben Zhou, telah memberikan penjelasan bahwa operasi perusahaan tetap berjalan normal.
Dalam musim dingin yang tak terduga, sebuah serangan cyber berhasil menembus sistem penyimpanan offline Bybit, yang biasa disebut sebagai dompet dingin. Meskipun dilindungi oleh berbagai lapisan keamanan, para pelaku berhasil mencuri aset senilai US$1,5 miliar, mayoritas berupa ether. Dana ini kemudian dipindahkan ke beberapa dompet digital dan dilikuidasi melalui berbagai platform.
Berita ini menimbulkan gelombang penarikan massal dari pengguna yang khawatir akan nasib platform tersebut. Namun, Ben Zhou menegaskan bahwa seluruh operasi tetap stabil dan semua transaksi penarikan berlangsung normal. Untuk mengatasi dampak finansial, Bybit mendapatkan pinjaman darurat dari mitra strategis, meskipun identitas mitra tersebut belum diungkapkan.
Analis keamanan dari Elliptic mencurigai grup Lazarus Korea Utara sebagai dalang di balik serangan ini. Grup ini telah memiliki catatan panjang dalam melakukan pencurian besar-besaran di industri mata uang kripto, termasuk insiden di empat bursa Korea Selatan yang merugikan US$200 juta.
Peristiwa ini menjadi salah satu pencurian terbesar dalam sejarah mata uang kripto, bahkan melebihi kasus Poly Network pada tahun 2021 dan Binace pada tahun berikutnya.
Dari perspektif seorang jurnalis, peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya keamanan dalam industri teknologi finansial. Peningkatan langkah-langkah keamanan dan transparansi adalah kunci untuk mempertahankan kepercayaan publik dan menjaga stabilitas pasar. Serangan ini juga menggarisbawahi perlunya kolaborasi internasional dalam menghadapi ancaman siber yang semakin canggih.