Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan setelah menjalani reli selama delapan hari perdagangan. Pada Kamis pagi, IHSG tercatat turun lebih dari 1%, dengan mayoritas emiten berada di zona merah. Penurunan ini dipengaruhi oleh kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) yang tetap mempertahankan tingkat suku bunga di AS, serta penyesuaian harga emas dunia. Sektor properti dan perbankan menjadi sektor yang paling terdampak, sementara utilitas, energi, dan konsumer primer masih bertahan di zona hijau.
Pada Kamis pagi, IHSG mencatatkan pelemahan signifikan setelah hampir seminggu dalam tren positif. Dalam sesi perdagangan pagi itu, indeks utama bursa Indonesia tergelincir lebih dari 1% pada pukul 10.47 WIB. Total transaksi hingga siang hari mencapai Rp 7,29 triliun melibatkan miliaran saham. Di antara semua sektor, properti menjadi yang paling tertekan dengan penurunan mendekati 1,5%. Perbankan juga ikut andil besar dalam penurunan IHSG, dengan beberapa bank besar seperti BBRI, BMRI, dan BBCA turun lebih dari 2%. Namun, ada anomali menarik dari BBTN, yang malah melonjak hampir 11%.
Selain faktor domestik, kebijakan global juga berperan besar dalam penurunan ini. Keputusan The Fed untuk menahan suku bunga di level 4,25%-4,50% telah memberikan dampak luas di pasar modal Asia, termasuk Indonesia. Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi terhadap ketidakpastian ekonomi akibat kebijakan tarif impor Presiden AS Donald Trump yang baru diumumkan awal bulan ini. Sementara itu, harga emas dunia juga turun tajam menyusul penguatan dolar AS dan pernyataan Ketua The Fed, Jerome Powell.
Berita buruk tidak hanya datang dari luar negeri. Cadangan devisa Indonesia pada April turun drastis hingga US$ 4,6 miliar karena pembayaran utang luar negeri dan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah. Meski demikian, posisi cadangan devisa masih cukup kuat untuk mendukung stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan nasional.
Dari perspektif seorang jurnalis, fenomena ini menunjukkan betapa sensitifnya pasar modal terhadap kebijakan ekonomi global. Ketergantungan pasar Indonesia pada kondisi eksternal membuat investor harus lebih waspada terhadap risiko volatilitas. Oleh karena itu, diversifikasi portofolio dan pemahaman mendalam tentang faktor-faktor eksternal menjadi kunci keberhasilan investasi di masa depan.