Pasar
Geliat Ekonomi Indonesia Ditengah Fluktuasi IHSG dan Kontraksi Manufaktur
2025-05-05
Jakarta, CNN Indonesia — Pasar modal Tanah Air kembali menunjukkan dinamika signifikan pada perdagangan minggu lalu. Meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil mempertahankan reli di tengah penurunan aktivitas ekonomi, pertumbuhan manufaktur yang melambat menjadi perhatian penting bagi pelaku pasar. Situasi ini menggambarkan kompleksitas kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

Ekonomi Nasional: Antara Optimisme dan Tantangan

Sorotan Kinerja IHSG

Pada hari Senin (5/5/2025), IHSG mencatatkan kenaikan sebesar 0,24% hingga mencapai level 6.831,95. Meski demikian, penguatan tersebut sempat terganggu menjelang akhir sesi perdagangan. Aktivitas transaksi juga tampak lesu dengan nilai total hanya Rp 10,39 triliun. Dalam dua sesi perdagangan, IHSG menunjukkan performa yang cukup stabil, bahkan sempat melonjak hingga 0,8%. Sektor bahan baku menjadi pendorong utama kenaikan indeks dengan kenaikan 1,63%. Pergerakan IHSG tidak lepas dari kontribusi beberapa saham unggulan seperti Bank Mandiri (BMRI), KLBF, dan AMMN. Namun, laju positif ini sedikit tertahan oleh performa negatif saham DCII, SMMA, dan HEAL. Dinamika ini menunjukkan bahwa meskipun ada sentimen positif, tekanan dari sektor lain tetap berpengaruh. Sebagai contoh, BMRI memberikan dampak signifikan dengan menyumbang 5,73 poin indeks. Hal ini mencerminkan keyakinan investor terhadap stabilitas bank-bank besar di Indonesia. Di sisi lain, pelemahan saham-saham seperti DCII menunjukkan adanya ketidakpastian dalam industri properti.

Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2025

Data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan pertama tahun 2025 sebesar 4,87% secara year-on-year (yoy). Angka ini turun dibandingkan periode sebelumnya yang tumbuh 0,98%. Faktor utama perlambatan ini adalah pengaruh musim Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri yang meningkatkan konsumsi masyarakat namun menekan produktivitas. Pertumbuhan ekonomi selama tiga bulan pertama tahun ini masih di bawah ekspektasi banyak pihak. Salah satu penyebabnya adalah daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya. Selain itu, kontraksi di sektor manufaktur juga berkontribusi besar terhadap perlambatan ini. Misalnya, Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis S&P Global pada April 2025 menunjukkan angka 46,7, jauh di bawah ambang batas 50 yang menandakan ekspansi. PMI rendah ini menunjukkan bahwa dunia usaha menghadapi tantangan serius. Kondisi ini bukanlah hal baru, karena PMI sudah menunjukkan tren negatif sejak November 2024. Penurunan drastis ini bahkan merupakan yang terendah sejak Agustus 2021, mencerminkan kekhawatiran akan masa depan industri manufaktur.

Analisis Kondisi Pasar dan Prospek Masa Depan

Menurut Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, pelemahan konsumsi masyarakat menjadi salah satu indikator utama perlambatan ekonomi. Rumah tangga mulai mengurangi belanja dan lebih fokus pada tabungan. Sikap ini dipicu oleh ketidakpastian ekonomi dan inflasi yang masih menjadi ancaman. Fenomena ini juga tercermin dari pola investasi di pasar modal. Investor cenderung memilih saham-saham dengan fundamental kuat untuk menghindari risiko kerugian. Sebagai contoh, saham BMRI yang memiliki posisi strategis di sektor perbankan menjadi incaran utama. Akan tetapi, sektor lain seperti properti masih menghadapi tantangan besar. Melihat prospek ke depan, para analis memperkirakan bahwa pemulihan ekonomi membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan harapan awal. Upaya pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat melalui stimulus fiskal dan moneter diperlukan agar pertumbuhan ekonomi bisa kembali stabil. Selain itu, revitalisasi sektor manufaktur juga menjadi prioritas utama. Secara keseluruhan, fluktuasi IHSG dan kontraksi manufaktur menggambarkan kompleksitas situasi ekonomi Indonesia saat ini. Meskipun ada potensi pemulihan, tantangan yang dihadapi tetap memerlukan solusi komprehensif dari semua pihak.
more stories
See more