Pada Rabu (9/4/2025), mata uang rupiah menghadapi tekanan kuat terhadap dolar Amerika Serikat, mencapai level Rp 16.900 per dolar. Menurut data Refinitiv, kurs bahkan sempat menyentuh angka Rp 16.950 per dolar pada pukul 09.40 WIB, melemah sebesar 0,24% dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya di Rp 16.860 per dolar. Para analis memperkirakan bahwa rupiah berpotensi jatuh lebih dalam ke level psikologis Rp 17.000 per dolar akibat sentimen global yang memburuk. Kebijakan tarif perdagangan Presiden AS Donald Trump menjadi salah satu faktor utama ketidakpastian pasar.
Dalam situasi ekonomi global yang semakin tidak menentu, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan. Pada hari Rabu di Jakarta, mata uang nasional ini mencatatkan level Rp 16.950 per dolar AS pada pukul 09.40 WIB, setelah awalnya stabil di Rp 16.900 per dolar. Ekonom Bank Danamon, Hosianna Evalia Situmorang, menjelaskan bahwa potensi pelemahan lebih lanjut hingga menyentuh level Rp 17.000 sangat mungkin terjadi jika kondisi global terus memburuk. Sentimen negatif ini dipicu oleh kebijakan proteksionisme perdagangan yang diterapkan oleh pemerintahan AS, khususnya terhadap produk impor dari China.
Menurut Kepala Riset Ekonomi Makro dan Pasar Keuangan Bank Permata, Faisal Rachman, eskalasi perang dagang antara AS dan China telah membuat investor global cenderung risk-off, atau menghindari aset-aset berisiko tinggi seperti rupiah. Hal ini ditandai dengan meningkatnya arus modal keluar dari Indonesia, sehingga memberi tekanan tambahan pada nilai tukar rupiah. Meskipun Bank Indonesia (BI) telah melakukan intervensi aktif melalui pasar DNDF, termasuk auction senilai US$ 378 juta pada hari sebelumnya, ketenangan pasar belum sepenuhnya pulih.
Ekonom Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, juga menyoroti bahwa pelemahan mata uang bukan hanya dialami oleh rupiah. Beberapa mata uang Asia lainnya seperti dolar Taiwan, yen China, peso Filipina, ringgit Malaysia, dan rupee India juga menghadapi tekanan serupa terhadap dolar AS. Namun, untuk kasus rupiah, ia memproyeksikan bahwa kurs akan tetap tertekan di kisaran Rp 16.945 hingga Rp 17.000 per dolar selama aliran modal asing keluar dari Indonesia masih berlanjut.
Berdasarkan laporan, investor asing telah melakukan net selling sebesar US$ 227,95 juta pada hari sebelumnya, menunjukkan adanya aksi kapital keluar yang cukup besar dari pasar keuangan domestik.
Perkembangan ini menunjukkan pentingnya stabilitas ekonomi global bagi mata uang negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ketika sentimen pasar global memburuk, mata uang domestik cenderung menjadi korban dari volatilitas yang meningkat. Untuk menjaga daya saing rupiah, langkah-langkah intervensi oleh Bank Indonesia serta kebijakan fiskal yang lebih kuat dari pemerintah tampaknya menjadi solusi jangka panjang. Selain itu, perlunya kolaborasi internasional dalam menyelesaikan konflik dagang dapat membantu meredam gejolak pasar keuangan global.